Rasa ingin berbagi dan belajar menjadi inspirasi untuk memulai kehidupan dengan cinta dan kasih sayang. Sehingga dengan demikian tercapailah tujuan hidup manusia. Goresan pena merupakan awal untuk mencapai keindahan walaupun coretan tersebut hanyalah kumpulan goresan dari seorang anak manusia yang sangat fakir akan ilmu! Namun demikian, semoga goresan ini bermamfaat bagi penulis sendiri serta menjadi inspirasi untuk semua.

Sabtu, 25 Juni 2011

Budaya Baru Geser Islam di Aceh

By. Majida
Study in IAIN AR-RANIRY, majoring in PENDIDIKAN AGAMA ISLAM.

Budaya Baru Geser Islam di Aceh 

Memang terkesan berlebihan, tapi itulah yang sekarang sedang di alami oleh Islam di Aceh. Banyak hal baru yang masuk ke Aceh. Utamanya adalah semua yang berkenaan dengan budaya. Budaya-budaya kiriman luar itu makin lama makin diminati, baik oleh anak-anak, remaja, hingga dewasa. Sayangnya budaya-budaya baru itu kebanyakan merupakan hal yang bersifat negatif, dan lebih parahnya lagi bahwa kekuatannya ini bisa menggeser kedudukan Islam di Aceh yang sudah lama tumbuh di bumi tercinta ini.
            Sebagai contoh budaya-budaya baru yang negatif itu adalah budaya hubungan pra nikah, hiburan-hiburan musik di warkop atau di kafe-kafe, gaya pakaian ala artis, ikutnya perwakilan Aceh ke ajang-ajang yang kurang bermanfaat, penyalahgunaan tehnologi, salon dan spa yang jauh dari tatanan Islam, pertumbuhan anak Punk sebagai komunitas baru di Aceh. Ini semua merupakan produk-produk luar yang mentah-mentah diterima oleh kita ureueng Aceh sekarang ini.
Hubungan pra nikah atau yang lebih kita kenal dengan istilah pacaran sudah menjadi hal yang lumrah di dalam masyarakat Aceh. Mulai dari ABG sampai orang dewasa tidak asing lagi dengan praktek ini. Hal ini tidak sepatutnya diremehkan, karena praktek ini merupakan petanda kerusakan moral dan ditrobosnya batasan-batasan yang telah Allah tentukan untuk menjaga kesucian hamba-hamba-Nya. Hal yang dipandang remeh inilah yang sebenarnya merupakan pintu utama terjadinya petaka-petaka besar, seperti zina besar yang dapat menimbulkan berbagai penyakit menular dan berbahaya, lahirnya anak-anak tak berayah, pembunuhan, dan lain hal yang bersifat negatif.
Beberapa  warkoppun sebahagiannya telah menyajikan “sajian baru” selain hanya sekedar makanan dan minuman,yaitu musik. Benar memang ini hanya sekedar hiburan belaka, tapi bagaimana dengan sajian musik yang bergaya club-club malam? Apakah itu pantas dan sesuai berada di negri Serambi Mekkah ini? Dan yang dikhawatirkan adalah ini menjadi pondasi-pondasi awal dibukanya diskotek secara legal di Aceh.
Bersamaan dengan itu, gaya pakaian ( laki-laki atau perempuan) yang terlampau berlebihanpun sangat digandrungi oleh hampir seluruh penduduk Aceh yang mayoritasnya beragama Islam. Batasan-batasan agama dilangkahi, tata kesopananpun tak diindahkan. Fakta yang lebih menyedihkan lagi bahwa sekarang para wanita sudah mulai berani menanggalkan kerudung dari kepalanya dan dengan santainya berjalan  di depan umum tanpa merasa risih dan canggung. Seolah-olah dari tindakan mereka itu terlontar kalimat ” Inilah kami. Jangan kekang kebebasan kami dengan memaksa  kami agar memakai kerudung “. Begitu pula halnya dengan tabiat baru para kaum Adam kita di Aceh, mereka juga tak mau kalah dalam ajang pamer aurat. Terlihat dari kenyamanan mereka menggunakan celana di atas batasan aurat mereka, yang juga digunakan di depan umum. Intinya dalam bahasa Aceh bisa kita sebutkan  “ abeh lam tipi “, maksudnya adalah semua yang ditampilkan di televisi ditiru tanpa terlebih dahulu dicerna. Sangat di sayangkan ketika kita mengingat- ingat kembali hikmah dari perintah Allah berkenaan dengan diwajibkannya menutup aurat bagi umat Islam yang sebenarnya kebaikannya adalah kembali kepada kita. Tapi kebanyakan kita tutup mata dan tutup telinga atas perintah ini.
Terbukanya Aceh kepada ajang-ajang yang kurang pantas disandarkan dengan tabiat orang Aceh yang mayoritasnya Islam juga menjadi budaya baru yang dianggap layak dikalangan kita sekarang. Misalnya saja ajang  pemilihan Putri Indonesia  ( dengan tiga syarat utamanya yaitu brain, beauty, behavior ), Aceh masuk sebagai perwakilan salah satu propinsi di Indonesia. Ada sisi positif dan ada pula  sisi negatifnya. Sisi positifnya adalah dengan adanya perwakilan dari Aceh berarti pula bahwa Aceh punya wanita yang memenuhi syarat brain, beauty, dan behavior tersebut. Tetapi bersamaan dengan itu kita juga merasakan dampak negatifnya bagi agama kita, Islam. Memang ketika kita mendengar tujuan diselenggarakannya acara ini adalah sebagai wahana memperkenalkan budaya dari masing-masing daerah tidakalah salah, tapi apakah menurut Islam dibenarkan dengan caranya yang seperti ini? Dimana dalam kontes ini wanita dinilai kecantikannya, bermanis-manis di depan para dewan juri, membuka aurat, yang kesemaunya ini sangat jauh dari tutunan Islam kepada seorang muslimah agar menjadi wanita shaliha. Baru – baru ini, perwakilan yang membawa nama Aceh keluar sebagai pemenangnya yang dibarengi dengan ucapan selamat dari gubernur Aceh ( yang menurut saya adalah suatu bentuk pemberian restu ) dan mengikuti ajang lanjutan ketingkat dunia yaitu ajang Miss Universe. Di bulan Ramadhan acara ini diadakan dan perwakilan Aceh   dengan membawa nama Indonesia adalah salah seorang dari kontestannya. Dan kita semua tau bagaimana acara itu. Apakah dengan cara menanggalkan pakaian kita memperkenalkan budaya kita ke mata dunia? Apakah pantas kita sebagai penduduk daerah yang mulai berusaha membangun daerah bersyariat diam melihat seorang atau bahkan lebih membawa nama Aceh ke dalam ajang-ajang seperti itu? Itu semua tak perlu dijawab tapi harus direnungi.
 Masalah lain yang tidak boleh kita sepelekan adalah tumbuhnya salon-salon kecantikan dan spa  yang non islami. Baik wanita maupun waria- waria yang bekerja disana di dalamnya. Hal ini sudah saatnya kita tolak keberkembanganya di Aceh ini. Sepertinya sudah menjadi tuntutan zaman tempat – tempat ini hadir di Aceh, atau ini malah tuntutan orang Aceh sendiri yang sudah merasa perlu akan hal-hal ini seperti yang terjadi di kota- kota metropolitan. Di dalam Islam tempat- tempat seperti ini sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan karena mengingat manfaat dan mudharatnya, walaupun Rasulullah saw. memerintahkan kita merawat diri dan Islam juga mencintai keindahan tapi tidak mesti dengan cara ini. Melainkan dengan perwatan-perwatan yang sederhana saja sudah cukup.
Penyalahgunaan tehnologi juga sudah menjadi penyakit baru setelah berkembangnya tehnologi beberapa tahun belakangan ini. Padahal seandainya kemajuan tehnologi ini hanya dimanfaatkan untuk kepentingan yang bersifat positif saja, pastilah hanya dampak-dampak positif saja yang kita rasakan. Namun kenyataannya tidak demikian, penggunaan secara positif dan negatif  keduanya berjalan beriringan tergantung si penggunanya.
 Budaya lainnya adalah lahirnya anak-anak muda yang bergaya sangat bertolak belakang dengan tata kesopanan dan tuntunan Rasulullah - yang menamakan kelompoknya dengan sebutan Punk - di area kota Banda Aceh ini semakin membuat hati miris. Dengan  gaya ugal-ugalan yang mereka pertontonkan di depan umum yang bisa kita lihat setiap harinya di sudut-sudut kota Banda Aceh, semakin memperkuat kedudukan sebuah kalimat “ Budaya baru geser Islam di Aceh “ dan dikhawatirkan eksistensi Islam di Aceh akan sirna dan hanya meninggalkan nama Islam saja. Atau bahkan mungkin Islam sudah pergi dari bumi Aceh ini tanpa kita sadari?
Kenapa semua ini bisa terjadi? Jawabannya karena kita mengaku diri sebagai seorang Islam dan benar-benar beriman pada Allah, tetapi sebagian besar dari kita tidak menjalankan apa yang diperintahkan-Nya bahkan melakukan apa yang saja larangan-larangan-Nya. George Sarton ( dosen di Universitas Harvard ) mengatakan: “ sesungguhnya Islam merupakan tatanan agama yang paling tepat sekaligus paling indah. Kamipun sependapat bahwa ia memang merupakan paling tepat dan paling indah dibanding dengan yang lainnya. Tapi sangat disayangkan bahwa kaum muslimin sendiri telalu jauh dari hakekat yang dibawa Islam. Kalau kita melihat Islam dari perbuatan kaum muslimin, sudah tentu kita tidak  akan melihat ajaran agama itu dengan jelas dan gamblang “
Sungguh mengena apa yang dikatakan oleh George Sarton dengan apa yang kita rasakan terhadap Islam di Aceh sekarang ini. Kita malu dengan budaya mulia yang dibawa Islam melalui syariat-syariatnya dengan cara menanggalkannya lalu menggantinya dengan budaya-budaya jelek yang merusak tatanan keislaman kita.
Sebenarnya siapa yang mesti kita salahkan atas semua ini? Masing-masing kita sudah tahu jawabanaya. Siapa dokter handal yang bisa menyembuhkan penyakit ini? Dokternya adalah kita sendiri yang mengaku sebagai orang yang Islam yang bertuhankan Allah bertauladankan Nabi Muhammad, dan yang mengaku diri sebagai penduduk daerah bersyariat Islam. Obatnya adalah terapkan hukum Allah, dan tak lupa pula doa dan harapan yang selalu kita panjatkan ke hadirat Allah agar menetapkan Islam dan eksistensinya di bumi Aceh hingga hari yang dijanjikan kelak.
            Wallahu a’lam bissawab.

Share:

Blogger Themes

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Blogger Tricks

BTemplates.com