Rasa ingin berbagi dan belajar menjadi inspirasi untuk memulai kehidupan dengan cinta dan kasih sayang. Sehingga dengan demikian tercapailah tujuan hidup manusia. Goresan pena merupakan awal untuk mencapai keindahan walaupun coretan tersebut hanyalah kumpulan goresan dari seorang anak manusia yang sangat fakir akan ilmu! Namun demikian, semoga goresan ini bermamfaat bagi penulis sendiri serta menjadi inspirasi untuk semua.

Sabtu, 30 Juli 2011

Puasa Ramadhan Bag.2


A.    CARA PENENTUAN AWAL RAMADHAN
1.      Ru’yah
Tentang ru’yah hilal, para ahli fiqh berbeda pendapat. Apakah cukup ru’yah oleh satu orang yang adil, dua orang yang adil, ataukah harus dilakukan oleh sekelompok orang?

Dalam hal ini Nabi bersabda:
لاَ تَصُوْمُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلاَ ل وَلاَ تُفْطِرُواحَتَّى تَرَوْهُ فَاِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَاقْدِروالَهُ ﴿رواه ﻤﺴلم﴾                                                                
“Janganlah berpuasa sehingga kalian melihat hilal, janganlah kalian berbuka apabila kalian melihat hilal (pada bulan Syawal) dan janganlah berbuka sebelum kalian melihatnya. Jika kalian terhalangi dengan mendung, maka perhitungkanlah hitungan pada bulan itu”.
Yang berpendapat tentang cukupnya persaksian seorang yang adil , berdasarkan hadits Ibnu Umar, ia berkata: “Orang-orang berusaha melihat-lihat hilal, kemudian aku menceritakan kepada Nabi bahwa aku melihatnya. Maka Rasulullah saw pun berpuasa dan memerintahkan orang-orang untuk berpuasa”.
Adapun mereka yang mensyaratkan ru’yah harus dilakukan oleh dua orang yang adil, berdalil dengan riwayat al Husain bin Harits al Hadhly, ia berkata, “ Kami berbincang dengan gubernur Mekkah, al Harits bin Hathib. Ia berkata kepada kami, Rasulullah saw memerintahkan kita untuk beribadah puasa karena melihat hilal. Jika kita melihatnya, namun ada dua orang yang bersaksi bahwa mereka menyaksikannya, kita berpuasa karena kesaksian mereka”.
Adapun yang mensyaratkan persaksian sekelompok masyarakat, mereka adalah pengikut Hanafi, yaitu saat terang benderang.
Termasuk kewajiban orang muslim untuk berusaha melihat hilal pada hari kedua puluh sembilan bulan Sya’ban ketika matahari tenggelam, adapun melihat di sini hukumnya wajib kifayah.[1]
2.      Hisab
Allah telah menunjuki kita untuk mempergunakan tanda-tanda di cakrawala untuk menjadi pedoman kita. Dalam Al Quran banyak ayat yang menerangkan bahwa segala sesuatu berlaku menurut kadar dan perkiraan yang telah ditentukan. Al Baghawi dan selainnya memaknakan surah Al An’am ayat 96 bahwasanya Allah menjadikan matahari dan bulan menurut hisab yang telah diketahui dan tidak melampui batas. Dalam surah Ar Rahman juga memberi pengertian bahwa matahari dan bulan beredar menurut hisab.
Para ulama terdahulu, mereka menempatkan hisab sebagai alat untuk melihat bulan. Akan tetapi ru’yah dan hisab harus saling bantu-membantu untuk menentukan kemungkinan ru’yah dipergunakan hisab. Untuk mengecek salah benarnya hisab, dibuktikan dengan ru’yah. Dan tidaklah semata-mata berpegang kepada hisab tanpa menghiraukan ru’yah.[2]
Sebagian ulama berkata : ”Boleh juga kita memulai puasa dengan hisabnya ahli hisab yang cukup padanya alat-alat hisab dan segala yang bersangkut paut dengannya”. Mereka berdalil dengan firman Allah surah Yunus ayat 5 :

“Dialah Tuhan yang telah menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya gemilang dan menjangkakan perjalanannya dalam beberapa manzilah, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perkiraan bulan serta bilangan hari”.
Dan mereka juga berpegang pada hadits Rasulullah :
عن ابن عمران رسول الله ص ٳنما الشهر تسع وعشرون فلا تصوموا حتى تروا الهلال ولا تفطر
وال حتى  تروه فإن غم عليكم فاقدرواله  )رواه البخارىومسلم(
Sesungguhnya bulan itu 29 hari, maka janganlah kamu berpuasa sehingga kanu melihat bulan dan janganlah kamu berbuka sehingga kamu melihatnya, jika mendung “kadarkanlah” olehmu untuknya”.
Kalimat “ faqduru lahu” mereka mengartikannya dengan menggunakan hisab awal bulan.[3]
3.      Istikmal
Menyempurnakan bilangan Sya’ban tiga puluh hari, baik ketika cuaca terang maupun berawan. Apabila orang-orang berusaha melihat hilal pada malam Sya’ban namun tak seorang pun yang melihatnya, maka bulan Sya’ban disempurnakan tiga puluh hari. Namun cara ini mempunyai kelemahan, karena perhatian terhadap itu tidak terdapat kecuali pada tiga bulan saja: Ramadhan untuk menetapkan puasa, Sya’ban untuk menetapkan keluarnya, dan Dzulhijjah untuk menetapkan hari Arafah. Maka dari itu, seharusnya umat sekaligus para pemimpinnya melakukan penetapan secara jeli seluruh bulan, karena yang satu berkaitan dengan yang lainnya.[4]
Share:

Rabu, 20 Juli 2011

Hukum Rokok dan Hukum Penyedap Masakan yang Mengandung MSG


A.    HUKUM ROKOK
Tumbuhan yang dikenal dengan nama tembakau atau sigaret (ad dukhan atau asy syijar) baru dikenal pada akhir abad ke-10 hijriah. Semenjak masyarakat mengkonsumsinya sebagai bahan isapan, hal ini mendorong para ulama pada zaman itu mengangkatnya sebagai bahan kajian fiqih.
Topik ini relatif menjadi wacana baru, sehingga belum ada ketetapan hukum syari`ah dari para fuqaha klasik dalam berbagai mazhab, di samping pengetahuan tentang subtansi masalah dan dampak rokok berdasarkan hasil riset kesehatan belum diketahui secara sempurna. Maka, setelah itu terjadilah perbedaan pendapat dari berbagai mazhab fiqih tentang masalah ini. sebagian berpendapat haram, makruh, boleh (mubah), sebagian lagi tidak memberikan hukum secara muthlaq, tetapi menetapkan hukumnya secara rinci, bahkan sebagian lagi dari mereka berdiam diri, tidak mau membicarakannya.
Sebagian ulama mengharankan dan memakruhkan rokok berdasarkan beberapa alasan, diantaranya :
a.       Menimbulkan kecanduan yang dapat merusak akal sebagaimana barang yang memabukkan
b.      Melemahkan daya tahan tubuh
c.       Menimbulkan mudharat yang mencakup mudharat jasmani dan mudharat finansial.
Syaikh Mahmud Syaltut (guru besar dan mufti Al Azhar) berpendapat kalaupun rokok tidak menjadikan mabuk dan merusak akal tetapi masih menimbulkan mudharat yang dapat dirasakan pengaruhnya pada kesehatan orang yang merokok dan yang tidak merokok. Padahal dokter telah menjelaskan bahwa unsur-unsur yang ada di dalamnya diketahui mengandung racun, meskipun berproses lambat yang akan dapat merampas kebahagiaan dan ketentraman hidup manusia. Karena itu, tidak diragukan lagi bahwa rokok dapat menimbulkan gangguan dan mudharat, sedangkan hal ini merupakan suatu yang buruk dan terlarang menurut pandangan islam. Di sisi lain, pengeluaran belanja untuk rokok sebenarnya dapat digunakan untuk sesuatu yang lebih baik dan bermanfaat. Maka dari sudut pandang inilah jelas-jelas rokok/merokok dilarang dan tidak dibolehkan syari`at.

 
HUKUM PENYEDAP MASAKAN YANG MENGANDUNG MSG (monosodium glutamate)
Allah telah menjelaskan secara jelas dan tuntas semuanya yang halal maupun yang haram. Dari sini para ulama menyimpulkan kaidah bahwa pada prinsip dasar makanan adalah halal kecuali bila terdapat larangan nash (Al Quran dan Hadits). Diantara faktor-faktor dan unsur-unsur kandungan yang dapat mengharamkan makanan adalah :
1.      Dipastikan dapat menimbulkan dharar (bahaya/tidak aman)
2.      Memabukkan atau mengganggu kesadaran dan ingatan
3.      Najis dan terkontaminasi dengannya
Adapun hukum bumbu penyedap makanan yang mengandung MSG, menurut uraian kaidah syari`at di atas adalah haram dalam batas membahayakan kesehatan dan makruh bila dapat menjurus pada akumulasi penyakit menurut medis maupun pengalaman empiris dari racun atau zat maupun bakteri yang dapat membahayakan  kesehatan meskipun dalam skala kecil.

Note: di kutip dari karya ilmiah Nur Raihani mahasiswa pada Fakultas Tarbiah IAIN Ar-Raniry Jurusan Pendidikan Agama Islam, Banda Aceh.


Share:

Puasa Ramadhan


A.    PENGERTIAN PUASA RAMADHAN
Menurut bahasa puasa berarti menahan diri, menurut istilah puasa adalah menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari, karena perintah Allah semata dengan disertai niat dan syarat-syarat tertentu.
Ramadhan jamaknya ramadhanat atau armidha yang berari sangat terik atau yang panas karena terik matahari. Orang Arab dahulu ketika merubah nama-nama bulan dari bahasa lama ke bahasa Arab disesuaikan menurut masa yang dilalui bulan itu. Maka kebetulan bulan Ramadhan masa itu melalui masa panas karena terik matahari.[1]
Ibnu Manzoor di dalam bukunya lisanul Arab mengatakan bahwa akar kata Ramadhan adalah ramadh yang berarti membakar disebabkan panas matahari yang luar biasa menyinari pasir-pasir gurun. Dikatakan juga bahwa dinamakan bulan Ramadhan sebab manusia menjadi terbakar disebabkan menderita lapar dan haus selama bulan yang sangat panas ini. Pakar bahasa Arab mengatakan bahwa untuk membuat sesuatu lebih terbakar adalah dengan menghimpitnya di antara dua batu karang, lalu memukul-mukulnya. Orang yang berpuasa melalui analogi, berarti memukul-mukul sifat buruknya sendiri diantara dua batu karang, yaitu lapar dan haus. Rasulullah bersabda:”Dinamakan bulan Ramadhan karena ia cenderung membakar dosa-dosa”.[2]
B.     HUKUM PUASA RAMADHAN
Puasa ramadhan hukumnya wajib bagi setiap muslim yang baligh, berakal,  dalam keadaan sehat, dan tidak melakukan perjalanan jauh
Yang menunjukkan puasa ramadhan itu wajib adalah firman Allah SWT :
$ygƒr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNà6øn=tæ ãP$uÅ_Á9$# $yJx. |=ÏGä. n?tã šúïÏ%©!$# `ÏB öNà6Î=ö7s% öNä3ª=yès9
tbqà)­Gs?
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. (al-Baqarah : 183)
Puasa ramadhan tidak gugur bagi orang yang telah dibebani syari’at kecuali apabila terdapat uzur atau halangan.  Diantara uzur sehingga mendapat keringanan dari agama untuk tidak berpuasa adalah orang yang sedang bepergian jauh, sedang sakit, orang yang sudah berumur lanjut (tua renta), dan khusus bagi wanita apabila dalam keadaan haidh, nifas, hamil atau menyusui.
a)      Hukum puasa Ramadhan bagi musafir
Allah berfirman dalam surah Al Baqarah ayat 184 :

“Barangsiapa diantara kalian ada yang yang sakit atau dalam perjalanan, lalu berbuka, maka wajiblah baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain”.

Ayat ini dikhususkan bagi orang yang berada dalam perjalanan dan orang yang sakit secara keseluruhan. Oleh karena itu, jika seseorang melakukan musafir (perjalanan jauh) mencapai delapan puluh empat mil, maka diberikan kepadanya keringanan untuk berbuka. Dan menggantinya pada hari lain setelah bulan Ramadhan. Tetapi jika ia tetap berpuasa maka ia akan mendapatkan tambahan pahala.
b)      Hukum puasa Ramadhan bagi orang yang usia lanjut
Orang yang sudah lanjut usia dan tidak mampu lagi mengerjakan puasa, maka ia boleh berbuka. Akan tetapi harus menggantikannya dengan memberi makan kepada fakir miskin sebanyak satu mud dan ia tidak perlu mengqadha puasanya.
c)      Hukum puasa Ramadhan bagi wanita hamil dan menyusui
Sebagian ulama mengatakan bahwa wanita hamil dan menyusui dibolehkan berbuka puasa. Akan tetapi menggantikannya pada hari lain atau memberi makan kepada orang miskin. Ketika mengqadha puasanya, jika ia seorang yang kaya dan hidup dalam kemudahan, maka hendaklah disertai dengan sedekah pada setiap hari yang ditinggalkannya itu satu mud gandum karena yang demikian  lebih sempura dan lebih besar pahalanya. Akan tetapi jika ia tidak mampu memberi makan fakir miskin, maka kewajiban tersebut gugur, sehingga cukup baginya dengan mengqadha puasa yang ditinggalkannya, tanpa harus membayar fidyah (denda).
d)     Batalnya puasa Ramadhan dan wajib atasnya kafarat:
1.      Orang makan dan minum dengan sengaja.
2.      Muntah dengan sengaja.
3.      Memandang orang laki-laki/perempuan dengan penuh perasaan nafsu birahi atau mengingat-ingat akan nikmatnya berhubungan badan.
4.      Haid dan nifas.
5.      Jika suami menyutubuhi istrinya dengan persangkaan bahwa waktu maghrib telah masuk atau mengira waktu fajar belum tiba, maka keduanya dalam hal ini tidak berkewajiban untuk membayar kafarat akan tetapi  wajib mengqadha puasanya.
6.      Jika seseorang berniat untuk berbuka, sedang ia dalam keadaan puasa. Maka puasa yang sedang dijalankannya itu menjadi batal karena niat merupakan salah satu syarat sah puasa.[3]


[1] Muhammad Hasbi ash Shiddieqy, Pedoman Puasa, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2000), hal. 4
[2] Yasin T al-Jibouri dan Mirza Javad, Rahasia Puasa Ramadhan, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2002), hal. 21-22
[3] Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Fiqh Wanita, (Jakarta: Al Kautsar, 1998), hal. 256-260
Share:

Blogger Themes

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Blogger Tricks

BTemplates.com