A. CARA PENENTUAN AWAL RAMADHAN
1. Ru’yah
Tentang ru’yah hilal, para ahli fiqh berbeda pendapat. Apakah cukup ru’yah oleh satu orang yang adil, dua orang yang adil, ataukah harus dilakukan oleh sekelompok orang?
Dalam hal ini Nabi bersabda:
لاَ تَصُوْمُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلاَ ل وَلاَ تُفْطِرُواحَتَّى تَرَوْهُ فَاِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَاقْدِروالَهُ ﴿رواه ﻤﺴلم﴾
“Janganlah berpuasa sehingga kalian melihat hilal, janganlah kalian berbuka apabila kalian melihat hilal (pada bulan Syawal) dan janganlah berbuka sebelum kalian melihatnya. Jika kalian terhalangi dengan mendung, maka perhitungkanlah hitungan pada bulan itu”.
Yang berpendapat tentang cukupnya persaksian seorang yang adil , berdasarkan hadits Ibnu Umar, ia berkata: “Orang-orang berusaha melihat-lihat hilal, kemudian aku menceritakan kepada Nabi bahwa aku melihatnya. Maka Rasulullah saw pun berpuasa dan memerintahkan orang-orang untuk berpuasa”.
Adapun mereka yang mensyaratkan ru’yah harus dilakukan oleh dua orang yang adil, berdalil dengan riwayat al Husain bin Harits al Hadhly, ia berkata, “ Kami berbincang dengan gubernur Mekkah, al Harits bin Hathib. Ia berkata kepada kami, Rasulullah saw memerintahkan kita untuk beribadah puasa karena melihat hilal. Jika kita melihatnya, namun ada dua orang yang bersaksi bahwa mereka menyaksikannya, kita berpuasa karena kesaksian mereka”.
Adapun yang mensyaratkan persaksian sekelompok masyarakat, mereka adalah pengikut Hanafi, yaitu saat terang benderang.
Termasuk kewajiban orang muslim untuk berusaha melihat hilal pada hari kedua puluh sembilan bulan Sya’ban ketika matahari tenggelam, adapun melihat di sini hukumnya wajib kifayah.[1]
2. Hisab
Allah telah menunjuki kita untuk mempergunakan tanda-tanda di cakrawala untuk menjadi pedoman kita. Dalam Al Quran banyak ayat yang menerangkan bahwa segala sesuatu berlaku menurut kadar dan perkiraan yang telah ditentukan. Al Baghawi dan selainnya memaknakan surah Al An’am ayat 96 bahwasanya Allah menjadikan matahari dan bulan menurut hisab yang telah diketahui dan tidak melampui batas. Dalam surah Ar Rahman juga memberi pengertian bahwa matahari dan bulan beredar menurut hisab.
Para ulama terdahulu, mereka menempatkan hisab sebagai alat untuk melihat bulan. Akan tetapi ru’yah dan hisab harus saling bantu-membantu untuk menentukan kemungkinan ru’yah dipergunakan hisab. Untuk mengecek salah benarnya hisab, dibuktikan dengan ru’yah. Dan tidaklah semata-mata berpegang kepada hisab tanpa menghiraukan ru’yah.[2]
Sebagian ulama berkata : ”Boleh juga kita memulai puasa dengan hisabnya ahli hisab yang cukup padanya alat-alat hisab dan segala yang bersangkut paut dengannya”. Mereka berdalil dengan firman Allah surah Yunus ayat 5 :
“Dialah Tuhan yang telah menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya gemilang dan menjangkakan perjalanannya dalam beberapa manzilah, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perkiraan bulan serta bilangan hari”.
Dan mereka juga berpegang pada hadits Rasulullah :
عن ابن عمران رسول الله ص ٳنما الشهر تسع وعشرون فلا تصوموا حتى تروا الهلال ولا تفطر
وال حتى تروه فإن غم عليكم فاقدرواله )رواه البخارىومسلم(
“Sesungguhnya bulan itu 29 hari, maka janganlah kamu berpuasa sehingga kanu melihat bulan dan janganlah kamu berbuka sehingga kamu melihatnya, jika mendung “kadarkanlah” olehmu untuknya”.
Kalimat “ faqduru lahu” mereka mengartikannya dengan menggunakan hisab awal bulan.[3]
3. Istikmal
Menyempurnakan bilangan Sya’ban tiga puluh hari, baik ketika cuaca terang maupun berawan. Apabila orang-orang berusaha melihat hilal pada malam Sya’ban namun tak seorang pun yang melihatnya, maka bulan Sya’ban disempurnakan tiga puluh hari. Namun cara ini mempunyai kelemahan, karena perhatian terhadap itu tidak terdapat kecuali pada tiga bulan saja: Ramadhan untuk menetapkan puasa, Sya’ban untuk menetapkan keluarnya, dan Dzulhijjah untuk menetapkan hari Arafah. Maka dari itu, seharusnya umat sekaligus para pemimpinnya melakukan penetapan secara jeli seluruh bulan, karena yang satu berkaitan dengan yang lainnya.[4]