Suku
Kurdi adalah nama anggota kelompok etnik yang menghuni pegunungan Taurus di
sebelah timur Anatolia dan Pegunungan Zegros di sebelah barat Iran, utara Irak,
dan daerah sekitarnya. Kebanyakan orang Kurdi di wilayah yang saling berhubungan
di Iran, Irak, dan Turki, yakni kawasan yang umumnya dikaitkan dengan Kurdistan
(negeri orang Kurdi), juga di Khurasan di timur laut Iran. Dari segi etnik,
bangsa Kurdi merupakan ras Aryan, yaitu Indo-Eropa yang telah menempati
Kurdistan sejak 2000 tahun sebelum Masehi. Jumlah mereka kini hampir mencapai
20 juta jiwa. Orang Kurdi secara tradisional hidup secara nomaden,
berpindah-pindah dari daerah pegunungan Turki dan Iran ke dataran Mesopotamia
sambil mengembala ternak dan bertani. Akan tetapi, di saat pasca-Perang Dunia I
negara-negara menetapkan garis perbatasannya. Karena itu suku Kurdi mulai
terdesak dan terpaksa meninggalkan pola hidup tradisionalnya dan mulai berdiam
diri di pemukiman-pemukiman. Sejak masa yang sangat awal, suku Kurdi sebenarnya
telah memiliki kebudayaan. Mereka menciptakan puisi dengan bahasa kurdi pada
abad ke-7, memainkan musik dan membuat sepatu kulit. Pengikat utama masyarakat
tradisional Kurdi adalah suku, yang dipimpin oleh seorang Syekh atau Agha.
Islam masuk ke wilayah suku Kurdi pada abad ke-7. Sebutan “kurdi” sendiri baru
digunakan setelah Arab menaklukkan wilayah itu dan sejak itu suku Kurdi cukup
dikenal di wilayah Asia Barat Daya. Hingga kini mayoritas orang Kurdi memeluk
agama Islam ( Suni) dan factor agama ini menjadi faktor penyatu di antara
mereka. Sebagian kecil Syiah, terutama di dekat wilayah Iran. Beraliran Sufisme
(Naqsyabandiyah dan Kadiriyah). Ada yang menganut paham sinkretik, dan sebagian
kecil menganut Kristen-Asyria. Meskipun dalam realitas sejarah merupakan suatu
komunitas yang besar, memiliki kebudayaan sendiri, bahkan menempati wilayah
tertentu (Kurdistan), orang Kurdi sampai saat ini belum mempunyai negara
sendiri. Daerah mereka selalu dijadikan daerah penyangga antara beberapa negara
tetangga yang langsung atau tidak lansung menguasai wilayah Kurdistan. Bahkan
suku Kurdi merupakan minoritas di lima negara digunakan tidak lebih sebagai
alat untuk kepentingan negara asing. Tak seorang pun pemimpin di negara
tersebut menghendaki suku Kurdi mempunyai negara sendiri. Negara sekitarnya khawatir
mereka akan menimbulkan gangguan keamanan di negara tersebut jika mereka
memiliki wilayah otonom. Orang Turki melarang mereka menggunakan bahasa Kurdi
dan pakaian tradisional Kurdi di sekitar kota administratif, bahkan pemerintah
akan memenjarakan orang Kurdi yang menyanyikan lagu mereka, juga menekan
agitasi politik Kurdi di propinsi timur dan mendesak mereka agar berimigrasi ke
wilayah barat. Iran menentang suku Kurdi yang mayoritas beraliran Suni. Suriah
(Syiria) menganggap suku Kurdi tidak berkaitan dengan identitas nasional Arab
dan menolak kewarganegaraan penuh suku Kurdi. Sementara Irak menganggap suku
Kurdi sebagai kelompok pembangkang. Kondisi ini membuat suku Kurdi mencatat
perjuangan panjang di bawah tekanan rezim yang menguasai wilayahnya sampai
waktu yang tak bisa diprediksikan, mulai dari geriliya sampai pada
pemberontakan untuk memperjuangkan berdirinya sebuah negara Kurdistan atau
minimal mendapat hak otonomi penuh untuk daerahnya. Setelah perang dunia I,
Turki menjanjikan pembentukan suatu wilayah otonomi bagi orang Kurdistan, tapi
perjanjian tersebut tak pernah dipenuhi. Kemudian berdirilah
organisasi-organisasi yang melawan pemerintah Turki, hingga tahun 1946
berdirilah negara Kurdi merdeka, yaitu Republik Mahabad, namun Republik Mahabad
ini hanya bertahan selama 1 tahun karena gempuran pemerintah Iran. Sejak saat
itulah pemberontakan terus berjalan. Nasionalisme Kurdi pertama kali menjadi gerakan
masa terutama di Irak. Pada 11 Maret 1970 telah terjadi gencatan sementara
dengan dicapainya persetujuan antara mereka dan pemimpin Irak yang menjanjikan
otonomi bagi seluruh daerah yang mayoritas penduduk bangsa Kurdi.
Kamis, 05 Desember 2013
Landasan Hukum di Indonesia dan Implementasinya
Landasan hukum adalah suatu titik untuk
berpijak kepada tujuan yang dicapai dengan mengikuti arahan-arahan dari titik
tersebut, titik tolah ini sebagai gambaran baku dalam suatu aturan yang wajib
dituruti/ditaati. Selain itu landasan hukum juga dapat diartikan peraturan baku
sebagai tempat berpijak atau titik tolak dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan
tertentu, dalam hal ini kegiatan pendidikan.
Sebagai
Negara hukum Indonesia memiliki landasan hukum tersendiri yaitu Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945, dari kedua landasan inilah hukum-hukum yang lain
bermunculan dan diciptakan, dalam menetapkan suatu peraturan baik itu
undang-undang, peraturan pemerintah dan sebagainya, isi dari peraturan tersebut
harus sesuai dengan konstitusi ataupun landasan hukum yang berlaku di
Indonesia.
Dalam
dunia pendidikan yang menjadi landasan hukum dapat dilihat pada UUD 1945 pasal
31 dan 32, dalam pasal 31 telah diatur bahwa setiap warga Negara Indonesia
berhak mendapatkan pendidikan, yang telah diprogram oleh pemerintah dalam
program belajar 9 tahun, yaitu dari SD hingga SMP, kemudian dari itu dalam
pasal 31 juga mengatur tentang penyelenggaraan pendidikan yang berlandasakan
nilai dan moralitas. Semua proses pembelajaran yang berjalan disubsidio oleh
pemerintah, ini juga diatur dalam pasal 31 yang berbunyi, “pemerintah
memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan
dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan kebutuhan nasional”
(Tim Bela Bangsa: 2010).