************
Mayoritas
masyarakat khususnya masyarakat Islam meyakini bahwasanya Bunga Bank dikatagorikan kedalam Riba hal tersebut disebabkan oleh berbagai faktor salah satunya
pendapat para fuqaha’ dan ulama, yang menyatakan dan menfatwa bahwa bunga dan
riba adalah sama dan dinyatakan haram. Hal tersebut senada dengan ayat Al-Quran
surat Al-Baqarah, (2: 278-279) yang berbunyi:
278.
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. 279. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba),
Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu
bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak
menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (Al-Baqarah, 2:
278-279).
Dan hal tersebut juga dipertegas oleh fatwa
ulama dan fuqaha’ yang tersebut di dalam keputusan lembaga Islam Internasional
diantaranya:
·
Dewan studi Islam Al-Azhar, Cairo, dalam konferensi DSI
Al-Azhar, Muharram 1385 H/Mei 1965 M, memutuskan bahwa “Bunga dalam segala bentuk pinjaman adalah Riba yang diharamkan”.
·
Keputusan Mukhtamar Bank Islam II,
Kuwait, 1403 H/1983 M.
·
Majma’ Fiqh Islam, Organisasi Konferensi
Islam, dalam keputusan No. 10 majelis Majma’ Fiqh Islami, pada konferensi OKI
ke II, Jeddah - Arab Saudi 10-16 Rabi’utsani 1406 H / 22-28 Desember 1985 M, memutuskan
bahwa: “Seluruh tambahan dan bunga atas pinjaman yang jatuh tempo dan nasabah
tidak mampu membayarnya, demikian tambahan (atau bunga) atas pinjaman dari
permulaan perjanjian adalah dua gambaran dari riba yang diharamkan secara
syariah.
·
Rabithah Alam Islami, dalam keputusan
No. 6 sidang ke-9, makkah 12-19 Rajab 1406 H, memutuskan bahwa “bunga bank yang
berlaku dalam perbangkan konvensional adalah riba yang diharamkan”.
·
Jawaban Komisi Fatwa Al-Azhar, 28
Februari 1988.[1]
Selain
dalam lembaga islam internasional, lembaga-lembaga islam dalam negeri ataupun
nasional juga pernah mengeluarkan fatwa yang menyatakan bunga bank adalah
haram, diantaranya adalah:
·
Nahdatul Ulama, pada Bahtsul Masail,
Munas Bandar Lampur, 1992.
·
Majelis Ulama Indonesia, pada lokakarya
Alim Ulama, Cisarua 1991.
·
Lajnah ulama Komisi Fatwa se-Indonesia,
pada Silaknas MUI, 16 Desember 2003
·
PP Muhammadiyah, Fatwa Majelis Tarjih
Muhammadiyah no.8, Juni, 2006. Diumumkan pada Rakernas dan Bussiness Ghatering Majelis Ekonomi Muhammadiyah, 19-21 Agustus
2006.[2]
Kemudian
Ascarya menambahkan, bahwa ada berbagai pihak dengan berbagai argumentasi
menyatakan bahwa bunga tidak sama dengan riba. Menurut beliau setidaknya ada
Sembilan pendapat yang mereka kemukakan, diantaranya:
·
Boleh mengambil bunga karena darurat.
Namun, kondisi darurat tidak terpenuhi karena menyimpan uang tidak harus di
bank. Selain itu, sekarang lembaga keuangan syariah telah tersebar hampir
diseluruh pelosok bumi.
·
Pada tingkat wajar, tidak mengapa bunga
dibebankan. Namun tingkat bunga yang wajar sangat subjektif tergantung waktu,
tempat, jangka waktu, serta jenis dan skala usaha.
·
Opportunity
lost
yang ditanggung pemilik dana disebabkan penggunaan uang oleh pihak lain. Namun,
di dunia ini tidak ada yang bisa memastikan seseorang akan berhasil atau tidak.
·
Bunga
untuk konsuntif dilarang, tetapi untuk produktif dibolehkan. Namun, produksi
pada dasarnya adalah konsumsi barang-barang modal dan konsumsi itu sebenarnya
memproduksi zat lain, seperti energy dan kerja.
·
Uang sebagai komoditi; karena itu ada
harganya, dan harga uang itu adalah bunga (Boehm-Bowerk). Namun, uang tidak
dapat disamakan sebagai komoditi karena tidak memenuhi sifat barang dan jasa
sehingga tidak dapat dijual atau disewakan. Uang hanya merupakan alat tukar.
·
Bunga sebagai penyeimbang laju imflasi.
Namun, tingkat inflasi dapat mencapai nol atau negatif (deflasi) sehingga alas
an itu tidak relevan.
·
Bunga sebagai upah menunggu (Abstinence Concept, senior, Irving
Fisher). Namun, motif menitipkan uang selain keuntungan juga karena keamanan
dan likuiditas.
·
Nilai uang sekarang lebih besar dari
pada nilai uang masa depan (Time Value of
Money). Namun, nilai uang dapat turun, tetap, atau naik (seperti butir ke
6).
·
Dizaman Nabi tidak ada bank, dan bank
bukan Syakhsiyyah Mukallafah (yang
terkena kewajiban menjalankan hokum syariah). Namun, hokum syariah meliputi
semua sendi kehidupan manusia.[3]
Dari
argumentasi diatas yang menyatakan bahwa bunga tidak sama dengan riba semua
memakai kata hubung “namun” untuk
membatasi ruang lingkup dari upaya membolehkan bunga bank. Dengan kata lain
argumentasi diatas secara tidak langsung menyatakan bahwa pendapat tentang
bunga bank tidak termaksud riba adalah lemah. Dalam kamus bahasa Indonesia kata
“namun” berarti kata penghubung antar
kalimat untuk menandai perlawanan.[4]
*Paper ini disampaikan pada mata kuliah Masail Fiqiyah di IAIN AR-RANIRY dengan judul BANK, BUNGA, HADIAH, HIBAH DAN
SOGOK DALAM ISLAM yang disusun oleh RESTU ANDRIAN dan SAFRIZAL, serta dibimbing dan di fasilitator oleh Musradinur. SPd.I, M.S.I
0 komentar:
Posting Komentar
saya masih belajar mohon maaf bila bnyak salah dan kekurangan.