Berikut akan ditampilkan dua model atau dua macam bentuk timbangan, timbangan pertama adalah timbangan tempo dulu yang amat sangat "jadul" dimana diyakini keakuratan dari pada hasil timbangan sangat lemah atau dapat dikatakan margin error- sebesar 1-2%.
Selanjutnya timbangan kedua adalah timbangan digital, atau timbangan laboratorium yakni timbangan yang kerap digunakan dan terdapat di laboratorium, khususnya laboratorium kimia. dimana timbangan jenis ini keakuratan dari pada hasil timbangan sangat valid, tepat, dan cepat.
demikian sekilas penjelasan tentang timbangan, dimana para pembaca dapat membaca tentang masalah ini lebih lanjut pada tulisan-tulisan lain yang berkaitan dengan timbangan.
Di Indonesia atau mungkin dieluruh dunia keadilan ditandai atau dilambangkan dengan timbangan yang berbentuk jadul, sebagaimana yang telah disebutkan diatas timbangan tersebut sangat tidak akurat sehingga hasil dari timbangan juga ikut terpengaruh. Demikian pula bila dibawa kedalam kondisi dan situasi pengadilan sehingga hasil pengadilan di Indonesia khusus-nya selalu tidak berpihak dan dianggap tidak adil, menurut hemat penulis ini merupakan dampak dari pada pemakaian lambang dan simbul yang tidak sesuai yang mana sebuah lambang tersebut dapat mempunyai makna filosofis yang tinggi sehingga membawa dampak psikologis yang sangat berarti.
Sehingga apabila masyarakat ingin mendapat hasil pengadilan yang adil sebagaimana timbangan digital mendapat hasil dari pada timbangan-nya maka pemerintah mesti mengganti timbangan "jadul" menjadi timbangan "digital".
Sebelum membahas tentang "timbangan" lebih lanjut ada baik-nya penulis sedikit membahas tentang peradilan, pengadilan yang dikutip dari sebuah makalah, sebagai berikut:
Pengertian Peradilan, Pengadilan dan Peradilan Agama
Dalam
kamus Bahasa Indonesia, peradilan adalah segala sesuatu mengenai perkara
peradilan.[1]
Peradilan juga dapat diartikan suatu proses pemberian keadilan disuatu lembaga.[2]
Dalam kamus Bahasa Arab disebut dengan istilah qadha yang berarti menetapkan, memutuskan, menyelesaikan,
mendamaikan. Qadha menurut istilah adalah penyelesaian sengketa antara dua
orang yang bersengketa, yang mana penyelesaiannya diselesaikan menurut
ketetapan-ketetapan (hukum) dari Allah dan Rasul. Sedangkan pengadilan adalah
badan atau organisasi yang diadakan oleh negara untuk mengurus atau mengadili
perselisihan-perselisihan hukum.[3]
Peradilan
Agama adalah proses pemberian keadilan berdasarkan hukum agama Islam kepada
orang-orang Islam yang dilakukan di Pengadilan agama dan Pengadilan Tinggi
Agama. Sebagai lembaga peradilan, peradilan agama dalam bentuknya yang
sederhana berupa tahkim, yaitu lembaga
penyelesaian sengketa antara orang-orang Islam yang dilakukan oleh para ahli
agama, dan telah lama ada dalam masyarakat indonesia yakni sejak agama islam
datang ke Indonesia.
Peradilan
disyari’atkan di dalam Al Quran dan hadits Nabi. Sebagaimana dijelaskan di
dalam Al Quran surah al-Maidah ayat 49 :
“Dan hendaklah kamu
memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap
mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang Telah
diturunkan Allah kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang Telah
diturunkan Allah), Maka Ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan
menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan
Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik”.
Dan
hadits yang menunjukkan pensyari’atan peradilan adalah :
إِذَا
حَكَمَ اْلحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ اَصَابَ فَلَهُ اَجْوَانِ، وَاِذَاحَكَمَ
فَاجْتَهَدَ ثُمَّ
اَخْطَاءَ
فَلَهَ اَجْرٌ
“Apabila seorang hakim berijtihad kemudian ia benar, maka ia
memperoleh dua pahala dan apabila ia berijtihad namun salah, maka ia memperoleh
satu pahala”.[4]
Note: Dikutip dari makalah Materi PAI II pada Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry, yang berjudul Peradilan Dalam Islam, yang disusun oleh Nur Raihani dan Jumiati.
[1] Cik
Hasan Basri, Peradilan Agama di
Indonesia, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 2.
[2] Mohammad
Daud Ali, Pengantar Ilmu Hukum dan tata
Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2005), hal. 278.
[3] Cik
Hasan Basri, Peradilan Agama di Indonesia…,
hal. 3.
[4]
Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al
Wajiz, (Bogor: Daar Ibnu Rajab, 2001), hal. 776.
terimakasih sangat membantu :)
BalasHapuskunjungi blog saya ya sahabat-stefhany.blogspot.com