BAB II
PERADILAN DALAM ISLAM (QADHA)
A. Wewenang dan Kompetensi Peradilan dalam
Islam
1.
Pengertian
Kata
“kekuasaan” disini sering disebut juga
dengan “kompetensi”, yang berasal dari bahasa Belanda “competentieí” yang kadang-kadang diterjemahkan juga dengan
“wewenang”, sehingga ketiga kata tersebut dianggap semakna. Kekuasaan peradilan
dalam kaitannya dengan Hukum Acara Perdata, biasanya menyangkut dua hal, yaitu
tentang “kekuasaan Relatif” dan “kekuasaan Absolut”.[1]
2.
Sejarah
Kompetensi Peradilan Agama di Indonesia
a.
Kompetensi
Peradilan Agama pada
Masa Kerajaan Islam (1613-1882)
Sejarah
kompetensi Peradilan Agama di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari pergumulan
hukum Islam dan dinamika politik hukum di Indonesia. Secara historis,
eksistensi hukum Islam di Indonesia sesungguhnya berjalan secara paralel dengan
kehadiran Islam di nusantara. Bahkan sejak awal kehadiran Islam, hukum Islam
telah menyatu dalam denyut kehidupan
masyarakat Islam Nusantara.
Perkembangan
agama Islam di Nusantara berjalan dalam dinamika yang cukup pesat. Terkait
dengan perkembangan tersebut, sejumlah kitab fikih (hukum Islam) berbahasa
melayu mulai ditulis oleh para ulama-ulama di Nusantara. Pada tahun 1628,
Nuruddin al-Raniri menulis kitab fikih berjudul sirat al-mustaqim dalam bahasa melayu. Kitab tersebut merupakan
kitab hukum Islam pertama di Nusantara. Bahkan, pengaruh karya al-Raniri
bergaung sampai ke Thailand.[2]
Secara
historis, eksistensi lembaga Peradilan Agama di Nusantara pertama kali lahir di
Jawa-Madura sejak adanya perkara hukum Islam diantara pemeluk agama Islam,
terutama menyangkut perkara dalam bidang perkawinan, perceraian, kewarisan dan
sebagainya.
Sebenarnya
sebelum Islam masuk ke Indonesia, di Indonesia telah dijumpai dua macam Peradilan
yakni, Peradilan Perdata yang mengurus perkara yang menjadi urusan raja dan
Peradilan Padu yang mengurus masalah perkara yang tidak menjadi wewenang raja.
Peradilan Pradata hukumnya bersumber dari hukum Hindu yang terdapat dalam
“papaken” atau kitab hukum tertulis, sementara Peradilan Padu berdasarkan pada
hukum Indonesia asli yang tidak tertulis.
Dengan
masuknya agama Islam ke Indonesia yang untuk pertama kali pada abad pertama Hijriyah
atau bertepatan dengan abad ketujuh Masehi yang dibawa langsung dari Arab oleh
saudagar-saudagar dari Mekkah dan Madinah yang sekaligus menjadi mubalig. Maka
dalam praktik sehari-hari, masyarakat mulai melaksanakan ajaran dan aturan-aturan agama Islam yang
bersumber pada kitab-kitab fikih, yang di dalamnya termuataturan dan tata cara
ibadah seperti taharah, shalat, zakat, puasa, dan haji serta sistem peradilan
yang disebut qadha.[3]
Berdiri
dan berkembangnya Peradilan Agama serta kerelaan sikap penundukan rakyat
nusantara yang telah menyatakan diri memeluk Islam terhadap hukum Islam,
khususnya dalam bidang al-ahwal
al-syakhsyiyyah (hukum keluarga),
menunjukkan lahirnya realitas baru, yakni diterimanya norma-norma sosial Islam
secara damai oleh sebagian besar penduduk Nusantara. Karena itu, tidak heran
jika sementara pakar menyatakan bahwa hukum Islam di Nusantara pada waktu itu
tidak saja menggeser norma-norma sosial yang pernah berlaku sebelumnya, bahkan
cenderung menghapuskannya.[4]
BY. Hariyanti dan Majida
Publishing By. Restu
[1] Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama Indonesia, (Malang :
Sukses Offset, 2009), hal 193
[2] Hasbi Hasan, Kompetensi Peradilan Agama dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah, (Depok: Gramata Publishing,
2010), hal.30
[3] Abdul Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia: Gemuruh Politik Hukum ( Hk. Islam, Hk. Barat,dan Hk.
Adat) dalam Rentang Sejarah Bersama Pasang Surut Lembaga Peradilan Agama Hingga Lahirnya Peradilan Syariat Islam
Aceh, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2006), hal.33
0 komentar:
Posting Komentar
saya masih belajar mohon maaf bila bnyak salah dan kekurangan.